Wednesday, 31 October 2007

What Being Sick Could Mean

What Being Sick Could Mean

I came to in a hospital, completely overwhelmed with nausea and ever lasting headache. ‘What is wrong with me?’ I thought. I was hoping so much that the doctor could explain what it was with me when he ran a thorough check up. It ended in disappointment as he failed to diagnose the disease although eh claimed he recognized the symptoms. For the time being, he prescribed a handful of medicine to take repeatedly in a day, way much more compared to my food intake.

Then, I spent most of my days running various medical checks - up – city scan, blood test as well as urine test. I never imagined that all those alien gadgets would be used to me. The sound of body scanner and the feeling of blood shot lingered deeply in my mind. At the end of every test, I crossed my fingers very tightly hoping so much that it would bring any good results.

After the third day, doctor had not been able to firmly say something about my health condition. I began to wonder if it would ever be found. ‘Could it be something new? What if it were? What if it were some lethal incurable disease?’ My head was overloaded with presupposition and misled judgment. Suddenly I began to see things - our wedding, our four - year old marriage, our lovable son, Ito’s birthday, his first utterance, his smile, my wife’s warmth, her fragrance, her smile, my undisciplined yet witty students, my loving friends at the office. They all flashed before my eyes. ‘Could this be it? Who is going to take care of my son? What about my job and my programs?’ All those questions continuously popped up in my no - pop up blocker mind.

It was in this state that I had a chance to meet many saviors.

Alongside my bed in the hospital was my faithful cousin – Ivan. He came to my house actually to spend his first – time - in – the – year break at my house – the place he thought he was very much welcomed. Yet, seeing me lying helplessly in the hospital was a feeling he could not stand. So, he made up his mind to stay beside me going through all of this. He was the one who relentlessly passed my ‘vomit’ basin, my tasteless meal and my packages of medicines – no matter how tired and sleepy he was. God knows what he is made of. He stayed on my side until his break ended on my fifth day in this confinement.

Every once in a while my wife visited me. She always tried to look tough in every visit and hid behind her sweet smile and warm comforting words. I swore I could read some signs of worry written in her face every time though. She always brought Ito along but I deliberately prohibited her to bring him in until the doctor diagnosed my disease. I missed him more than anything but bringing him in and risking that tiny innocent creature with my undiagnosed disease was just not a choice. Yet, I could feel his presence through his mum and it lighted my spirit up to get out of this hell sooner.

My mum also came whenever she had a chance - quite often for a 70 – year – old woman with a complication of weak heart and nerve disorders. She, however, was a very poor actress. She could not hide her worry over her youngest son’s condition and chose not to look at my facial expression (my pain was written all over my face). On the other hand, she chose to sit outside the room and pretended to be okay. As she went home, she would immediately ring me and ask me to hang on – not putting that kind of expression on my face anymore for it made her sad and worried. The lingering pain did make it difficult for me to pretend. I completely understood her worries though.

Friends were also some of my many saviors. They managed to squeeze in some time between their tight schedules to pay a visit. They worked hard to put smiles on my face. It did not always pay off but it felt like they put some chocolate on top – very encouraging.

Whenever family and friends left, I began to cherish the mighty blessings God had been given to me. I never did anything good, said no words of comforts, sent no greeting cards for their special day nor sent prayers to them, but look what they had given me in return. I had been bad, dishonest, insincere and unfaithful to everybody; yet what they did to me was the other way around. I realized that, other than the fact that my body was giving me a ‘red light’ warning to me to hold on my horse, I was meant to see how much blessing I had been given – great family and great friends and how I should be thankful for those I had received. This is one meaningful disease I had to suffer.

On the fifth day, the doctor finally diagnosed that I was suffering from Hepatitis A. I had to stay for another five days in the hospital and yet another five days at home, but with great blessing, love and prayers from family and friends, the disease immediately eased up and eventually completely cured. I am now up and around and start life as a better person. Thank you, Ivan; thank you, Dear Simbok; thank you, Ito; thank you, Mum; thank you, friends.

Friday, 5 October 2007

Apa Dedikasi itu Sebenarnya?

Ya, sebenarnya apa sih dedikasi?

Bang Dedy? Hmmm... mantan auditorku dulu itu emang baek banget. Aku suka... menertawakannya!! kekekeke. Atau Mas Dedi? Nah, cowo seksi yang satu ini bisa merusak otak kita, bertiga malah berniat bersaing untuk mendapatkannya. Mata yang sangat luar biasa, dengan senyum manis dan ber-dedi-kasi.

Eh... jadi apa itu dedikasi?

Aku ga tau.

Norak! Jadi kamu mau ngapain sebenarnya?

Eh, kok malah nanya? Kirain kamu mau cerita, apa itu dedikasi? Bukannya kamu tau apa itu dedikasi?

Kalo aku tau, kenapa nanyak?

Ih, jadi pemarah. Orang pemarah itu berdedikasi ga yak? Kekekeke... Jujur, aku ga tau. Ada yang bilang, Butet Manurung ber-dedi-kasi. Jadi apa? Apa karena dia punya Dedi? Atau... (senyum sok bloon)

Hiiiih....!!

Ok... ok. Aku bukan ahli bahasa. Entahlah. Dan aku juga tidak menyebutkan diriku berdedikasi. Tapi kalo ga salah kata itu berasal dari kata dedicated kan? Atau bukan? Ah, pertanyaanmu susah. Wiken gini harusnya nanya yang gampang, kaya... besok jadi nonton ga? Ke tukang jait kapan? Facial? Spa? Orang kayaaaa...

Trus... trus...? Apa lanjutan dedicated tadi?

Apa ya? Aku juga ga terlalu ngerti tentang dedikasi itu, makanya menurutku kamu bertanya ke orang yang salah. Kalau emang benar dedikasi berasal dari kata dedicate tadi, ya, berdedikasi itu sebenarnya istilah relatif. Berdedikasi pada apa? Misalnya, lagi-lagi Butet Manurung, dia berdedikasi sama masyarakat pedalaman, rimbawan. Tapi dalam hal ini, dia pasti tidak berdedikasi sama... siapa ya? Lembaganya dulu? Mungkin... ah, pertanyaan yang membingungkan. Pertanyaanmu cuma satu, kenapa aku ga bisa menjelaskannya ya?

Orang-orang NGO suka dibilang, harus berdedikasi. Berdedikasi sama siapa? Kemaren waktu aku terlibat di JE, salah satu pihak yang harus kita beri pertanggung jawaban adalah juga masyarakat. Kalau begitu seharusnya kita berdedikasi sama masyarakat yang kita bilang kita dampingi, kita bantu dong?

Jadi?

Jadi....? Ya... tergantung sih, kamu berdedikasi sama siapa? Tinggal pilih, sama masyarakat, sama bos, sama organisasi, sama Tuhan yang memberikan kamu kesempatan itu. Aku juga ga tau, tapi beberapa tahun yang lalu, aku merasa lelah dan marah pada tempat aku kerja dulu. Aku marah sama bosku, dengan semua sepak terjangnya yang membuatku muak. Aku marah sama organisasiku yang menurutku mengubek-ubek kondisi masyarakat atas nama development dan meninggalkannya begitu saja, yang membuat kondisi mereka bahkan lebih buruk dibanding sebelum organisasi itu datang. Mereka, ah ga, aku ada di dalamnya, membuat semuanya lebih buruk dari sebelumnya.

Kamu kecewa? Marah?

Aku punya hati, aku punya mata, aku bisa merasa. Hanya orang-orang ndableg itu yang masih anteng di posisinya. Keenakan. Bagaimana mungkin mereka bisa bicara soal improving live, ketika mereka sendiri hanya kejar tayang? Bicara berapa duit yang sudah didistribusikan untuk program tertentu... bicara indikator yang diukur, bicara bagaimana mengukur, bagaimana membuat report. Tapi mereka ga bertanya yang paling penting: APAKAH MASYARAKAT MENGALAMI PERUBAHAN (TRANSFORMASI)?

Kamu terdengar marah.

Marah, kecewa. Semua. Aku sempat pundung waktu itu. Sampe seorang bapak beruban, melihat, mengajakku bicara. Aku masih ingat dia bilang apa. Dan, mungkin karena itu, aku ga terlalu pusing dengan apa yang dimaksud dengan berdedikasi... atau mungkin itu juga yang dimaksud dengan berdedikasi ya? Ga tau juga d.

Oh ya? Dia bilang apa?

Ketika kamu create suatu program dan kamu tinggalkan, kamu tidak ubahnya seperti pemuda yang menghamili pacarmu dan meninggalkannya. Analogi yang aneh, jelas-jelas aku cewe. Lagian, mana mau aku dihamili sebelum dinikahin. Pernah waktu itu aku sama cowoku... eh... ngomong apa sih? Salah...

Iya, itu yang dia bilang. Seperti itulah yang kamu lakukan. Jadi... sampai batas-batas tertentu, bekerjalah terus, ciptakan perubahan di sekitarmu, mulai hari ini, mulailah dari dirimu sendiri. Heran, dia mengatakan ini jauh sebelum AA Gym mempopulerkannya. Junjunganmu, bukanlah bossmu. Menyebalkan ketika dia melakukan banyak hal yang kamu tidak suka. Saya kenal baik bossmu. Junjunganmu juga bukan organisasi ini, meski punya banyak nilai yang luar biasa bagus, serasa di surga. Junjungamu adalah Tuhan, yang mengijinkan kamu bekerja di sini, mengijinkan otak dan hatimu bekerja dalam waktu yang bersamaan. Juga masyarakat yang menjadi tanggunganmu.

Hmmm... Jadi... ini tentang Tuhan dan Masyarakat? Dedikasinya ke sana?

Itu menurut dia, yang kemudian aku renungkan. Dia bilang gini lagi, organisasi bisa punya banyak sekali konsep, cara, strategi yang kadang tidak kita pahami. Tapi ketika perubahan kecil kamu lakukan, kamu akan merasa berbeda. Lupakan si .... (dia menyebutkan bosku dengan nama yang tidak pantas kutulis di sini). Dia itu... (sorry, aku ga berani). Tapi, ingat masyarakatmu, ingat Tuhanmu. Mari belajar bertanggung jawab. Kalau kamu memang harus pergi, berkreasi di tempat lain, tetaplah bawa sudut pandang ini, supaya kamu tidak kecewa. Vi, masyarakat... somehow, tidak akan mengecewakanmu. Apalagi Tuhan. Jadi... kalo bos dan organisasi mengecewakan... well, kamu masih punya back up masyarakat dan Tuhan kan?

Kamu ingat KSM-KSM yang kamu bangun? Perubahan apa yang kamu lihat dari mereka? Bersukacitalah untuk setiap perubahan yang kamu lihat, sekecil apapun. Karena mereka tanggung jawabmu. Aneh rasanya dia bicara begitu. Dia ngomong akuntabilitas jauh sebelum aku mempelajari bahwa yang dia sebut itu akuntabilitas.

Tuhan dan masyarakat. Hmmm... aku kayanya pernah dengar kata-kata itu ya. Pro Deo dan apa gitu?

Anyway... sampai sekarang aku belum bisa memberikanmu informasi penting tentang apa itu dedikasi. Aku sendiri belum merasa berdedikasi. Satu hal yang pasti, aku menuju ke sana. Dan aku sangat ingin selalu mengingat kata-kata bapak beruban itu. Itulah sebabnya ketika seorang bapak botak mengirimka imel padaku menceritakan tentang tanggung jawab kerja kepada DIA, aku langsung tersentak, betapa bicara dedikasi -- kalau memang yang kusebut tadi dedikasi -- perlu selalu diingatkan. Butet Manurung aja kadang-kadang kecewa dan ingin berenti kok.

Sorry ya, aku ga bisa menjelaskan tentang dedikasi itu. Satu hal, aku hanya memegang apa yang aku pikir menjadi tanggung jawabku. Bersuara ketika harus. Bertindak. Dan pergi ketika harus. Semuanya dengan alasan... untuk Tuhan dan Masyarakat. Bukan untukku, bukan untuk organisasi, bukan untuk bos.

Semua orang sah-sah saja punya sudut pandang berbeda.