Tuesday, 15 January 2008

Satu Lagi Korban Pendidikan

Kemarin aku mendapat telp dari salah satu lembaga kemanusiaan yang sangat peduli pada anak. Karena aku menyantuni satu anak di sana, mereka memberiku kabar terbaru tentang anakku, yang sayangnya mengatakan anak itu di-drop sebagai anak santun, karena dia tidak sekolah lagi. Kenapa tidak mau sekolah, tanyaku. Sekolahnya jauh, kami sudah melakukan pendekatan bahkan menyediakan asrama, tapi anaknya tidak mau, jawab mereka. Lalu mereka menawarkan, apakah aku mau menyantuni anak lain sebagai ganti anak santun yang di-drop itu.

Awalnya aku menjawab tidak keberatan. Tapi kemudian aku berfikir, kenapa anak itu di-drop karena dia tidak mau lagi sekolah? Bukankah dia tetap anak meskipun dia tidak lagi sekolah? Usianya masih 16 tahun, dia tetap dianggap anak berdasarkan konvensi hak anak.

Aku merasa miris. Ini dia, satu lagi korban pendidikan. Kuceritakan kekesalanku pada temenku yang langsung menceritakan pada mereka. Aku sangat memahami penjelasan mereka, tapi toh mereka tidak bisa menjelaskan kenapa anak yang putus sekolah didrop sebagai anak santun? Hanya karena pendidikan sebagai indikator yang ada dalam logical framework mereka? Ampun dj!

Bayangkan seorang anak perempuan, anak dari ujung Papua, yang untuk mencapai rumahnya, kamu harus menggunakan semua alat transportasi yang ada, mulai dari pesawat, lalu kamu naik perahu, lalu motor dan kemudian jalan kaki. Anak di ujung Papua sana, tau apa mereka tentang pendidikan? Kenapa memaksakan pendidikan ketika mereka lebih butuh misalnya pendidikan tidak formal?

Gila, menuliskan ini rasanya ingin membuatku menangis. Aku benci kalo menulis dengan emosi tinggi, biasanya kalimatnya berjejalan ingin keluar. Apakah ketika mereka mau tetap sekolah, yang berarti akan mendapat penyantunan, berarti mereka bisa bersaing? Bukan, bukan itu maksudku, pertanyaan dasarnya: itukah kebutuhan dasarnya sebagai anak?

Sial!! Aku benar-benar ga tau harus menulis bagaimana.

Ok, begini, anak berhak mendapat pendidikan, berarti bukan wajib mendapatkan pendidikan. Sekarang, ketika kamu men-drop dia 'hanya' karena dia tidak mau sekolah, bukankah itu yang dikatakan dengan kewajiban? Aku sangat mengerti ketika kamu bilang, kita tidak memotivasi anak ketika dia tidak sekolah, kita tetap memberi mereka santunan. Oh for god sake, aku sangat mengerti pola santunan yang kamu maksudkan, saya pernah di sana sebelumnya. Ketika saya bilang saya menyantuni satu anak, uang yang saya berikan tidak bulat-bulat diterima anak itu. Bahkan ada anak yang tidak ada penyantunnya pun bisa mendapatkan pelayanan.

Saya, tidak pernah keberatan anak santun saya sekolah atau tidak, sepanjang dia bisa mendapatkan fasilitas yang bisa membuat dia mendapatkan life skill. Informal education misalnya. Atau apalah, yang sesuai dengan kondisi di sana. Tau ga pengarang Musashi itu bahkan tidak lulus SMP? Tau ga, temenku orang Indonesia yang tidak lulus S1 45 juta sebulan, mengalahkan mantan bossku yang PhD? List ini akan bertambah panjang. Seandainya semua orang sepakat seperti buku "Sekolah Itu Candu" atau "Sokola Rimba" seandainya semua tidak melihat seperti Departemen Pendidikan.

Aku tau, aku terlalu emosional. Tapi aku juga tau, ada banyak anak di Papua sana yang nasibnya sama dengan anak santunku.